AI dan Transformasi Peradilan: Peluang dan Tantangan
Oleh: Petrus Antonius Ayub Adha, S.H
Mahasiswa Magister Fakultas Hukum Universitas Dwijendra
CakapRakyat.com - Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi menjadi sangat cepat dan pesat. Perkembangan ini menjadi tantangan besar bagi beberapa sektor seperti, keuangan, bisnis, jasa termasuk juga dalam bidang kebijakan public dan hukum.
Salah satu yang paling nampak dan berkembang pesat adalah Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI). AI saat ini telah masuk dalam berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk hukum.
Integrasi Kecerdasan Buatan (AI) ke dalam sistem peradilan menandai revolusi yang menjanjikan efisiensi dan peningkatan aksesibilitas keadilan. Dari otomatisasi administrasi hingga analisis dalam penanganan kasus, AI berpotensi mengubah cara kerja lembaga peradilan secara fundamental. Namun, di balik janji-janji inovasi ini, muncul serangkaian tantangan filosofis, etika, dan hukum yang harus dijawab. Menyeimbangkan antara manfaat kecepatan teknologi dan prinsip keadilan substantif menjadi isu sentral dalam transformasi ini.
Peran AI tidak hanya sebatas alat bantu, tetapi telah berkembang menjadi agen cerdas yang mampu memproses informasi hukum dalam skala masif. Ini mendorong lembaga peradilan untuk mempertimbangkan kembali model operasional mereka. Perubahan ini menuntut adaptasi tidak hanya pada aspek teknologi, tetapi juga pada aspek sumber daya manusia dan kerangka regulasi. Tanpa persiapan yang matang, implementasi AI justru berisiko menimbulkan ketidakadilan baru dan kerentanan terhadap bias.
Peluang AI dalam Meningkatkan Efisiensi dan Aksesibilitas Keadilan
Salah satu peluang utama pemanfaatan AI adalah dalam meningkatkan efisiensi administrasi peradilan. AI dapat mengotomatisasi tugas-tugas repetitif seperti klasifikasi dokumen, penjadwalan sidang, dan pengarsipan perkara (e-filing). Sistem e-court yang didukung AI, misalnya, mampu memproses berkas dengan lebih cepat, mengurangi tumpukan pekerjaan manual bagi panitera, dan mempercepat proses litigasi.
Selain itu, AI berfungsi sebagai asisten riset hukum yang canggih. Hakim dan pengacara dapat memanfaatkan AI untuk menelusuri database yurisprudensi dan regulasi dalam hitungan detik. Alat ini mampu menemukan preseden yang relevan dan menganalisis pola putusan sebelumnya, yang sangat membantu dalam menjaga konsistensi hukum dan memperkuat argumentasi. Peningkatan efisiensi ini secara langsung berkontribusi pada aksesibilitas keadilan karena mengurangi waktu dan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat.
Tantangan Etika dan Akuntabilitas
Meskipun efisien, penggunaan AI dalam peradilan menimbulkan tantangan etika yang mendasar, terutama terkait bias algoritma. Sistem AI belajar dari data historis, dan jika data tersebut mengandung prasangka atau ketidakadilan yang ada di masa lalu (misalnya, kecenderungan hukuman yang lebih berat untuk kelompok minoritas), algoritma akan mereproduksi dan bahkan memperkuat bias tersebut dalam keputusannya. Hal ini mengancam prinsip kesetaraan di hadapan hukum.
Tantangan kedua adalah isu akuntabilitas (pertanggungjawaban). Dalam contoh kasus di mana keputusan dipengaruhi oleh AI, sulit untuk menetapkan siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kesalahan. Apakah pengembang AI, pengguna (hakim), atau sistem itu sendiri? Kerumitan ini diperparah dengan masalah transparansi (explainability); algoritma kompleks seringkali membuat sulit untuk dipahami mengapa suatu kesimpulan tercapai. Ini bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan keadilan dalam peradilan.
Batasan Yurisdiksi dan Kebutuhan Regulasi Khusus
Tantangan yang paling krusial adalah menentukan batasan yurisdiksi AI. Apakah AI boleh terlibat dalam pengambilan keputusan substantif atau hanya sebatas alat? Pandangan hukum menegaskan bahwa AI harus tetap berfungsi sebagai alat bantu. Nalar, nurani, dan interpretasi filosofis terhadap nilai-nilai keadilan harus tetap menjadi domain hakim. AI tidak memiliki kapasitas moral untuk mempertimbangkan konteks sosial, penderitaan, atau rasa keadilan substantif seperti yang dimiliki manusia.
Dalam mengelola risiko ini, kebutuhan akan regulasi khusus AI menjadi sangat mendesak. Diperlukan kerangka hukum yang secara eksplisit mengatur: standar etika dan pengujian bias pada algoritma peradilan, mekanisme audit dan transparansi, serta penentuan tegas mengenai garis pertanggungjawaban perdata dan pidana. Tanpa payung hukum yang kuat, transformasi peradilan oleh AI berisiko merusak fondasi kepastian dan keadilan hukum.
Keceerdasan Buatan (AI) menawarkan potensi luar biasa untuk mengoptimalkan peradilan melalui efisiensi. Namun, potensi ini tidak boleh dipertukarkan dengan integritas sistem hukum. Agar transformasi berjalan sukses, lembaga peradilan harus memprioritaskan penyusunan kerangka regulasi yang memastikan AI beroperasi secara adil, transparan, dan akuntabel, serta mempertahankan peran sentral manusia (hakim) sebagai penjaga nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Disclaimer: Tulisan ini adalah opini penulis, dan tidak merepresentasikan pandangan redaksi.





